Selasa, 02 April 2013

Belas Kasihan : Senyuman Bagi Orang Yang Jarang Tersenyum

Saya adalah ibu tiga anak dan baru saja
menyelesaikan kuliah. kelas terakhir yang
harus saya ambil adalah sosiologi. sang
dosen sangat inspiratif, dengan kualitas
yang saya harapkan dimiliki setiap orang.
Tugas terakhir yang diberikan ke para
mahasiswanya diberi nama “Smiling”.
seluruh mahasiswa diminta untuk pergi ke
luar dan memberikan senyumanya kepada
tiga orang asing yang ditemuinya dan
mendokumentasikan reaksi mereka.
setelah itu setiap mahasiswa diminta
untuk mempresentasikan di depan kelas.
Saya adalah orang yang periang, mudah
bersahabat, dan selalu tersenyum pada
setiap orang. Jadi, saya pikir, tugas ini
sangatlah mudah.
Setelah menerima tugas tersebut, saya
bergegas menemui suami saya dan anak
bungsu saya yang menunggu di taman
halaman kampus untuk pergi ke restoran
McDonald’s yang berada si sekitas
kampus. pagi itu udara sangat dingin dan
kering. sewaktu suami saya akan masuk
dalam antrian, saya menyela dan meminta
agar dia saja yang menemani si bungsu
sambil mencari tempat duduk yang masih
kosong.
Ketika saya sedang dalam antriann,
menunggu untuk dilayani, mendadak
setiap orang di sekitar kami bergerak
menyingkr. bahkan orang semula antri di
belakang saya ikut menyingkir keluar dari
antrian.
Perasaan panik menguasai diri saya ketika
berbalik dan melihat mengapa mereka
semua menyingkir. saat berbalik itulah
saya mencium “bau badan kotor” yang
cukup menyengat.
Tepat di belakang saya berdiri dua lelaki
tunawisma yang sangat dekil. Saya
binggung dan tidak mampu bergerak sama
sekali. Ketika saya menunduk, tanpa
sengaja mata saya menatap laki-laki yang
lebih pendek, yang berdiri lebih dekat
dengan saya. Ia sedang “tersenyum” ke
arah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot
matanya tajam, tapi juga memancarkan
kasih sayang. Ia menatap ke arah saya
seolah meminta agar saya dapat
menerima “kehadirannya” di tempat itu.
Ia menyapa “Good day!” sambil tetap
tersenyum dan sembari menghitung
beberapa koin yang disiapkan untuk
membayar makanan yang akan dipesan.
Secara spontan saya membalas
senyumanya. Seketika saya teringat
“tugas” yang diberikan oleh dosen kepada
saya. Lelaki kedua yang berdiri di
belakang temannya, sedang memainkan
tangannya dengan gerakan aneh. Saya
segera menyadari bahwa lelaki kedua itu
menderita defisiensi mental, dan lelaki
dengan mata biru itu adalah
“penolong”nya. Saya merasa sangat
prihatin. Akhirnya dalam antrian itu kini
hanya tinggal saya bersama mereka. Kami
bertiga tiba-tiba saja sudah sampai di
depan counter.
Ketika wanita muda di counter bertanya
kepada saya apa yang ingin saya pesan,
saya persilakan kedua lelaki ini untuk
memesan dulu. Lelaki bermata biru
segera memesan, “kopi saya, satu
cangkir… nona!” dari koin yang terkumpul,
hanya iutlah yang mampu mereka beli.
Sudah menjadi aturan di restoran di sini,
jika ingin duduk di dalam restoran dan
menghangatkan tubuh, orang harus
membeli sesuatu. Dan tampaknya kedua
orang ini hanya ingin menghangatkan
badan. Tiba-tiba saja saya di serang oleh
rasa iba yang membuat saya sempat
terpaku beberapa saat. Mata saya
mengikuti langkah mereka mencari
tempat duduk yang juah terpisah dari
pengunjung lainnya, yang hampir
semuanya sedang mengamati mereka.
Pada saat yang bersamaan, saya baru
menyadari bahwa saat itu semua mata di
restoran itu juga sedang tertuju ke diri
saya, dan pasti juga melihat semua
tindakan saya.
Saya baru tersadar setelah petugas di
counter itu menyapa saya untuk ketiga
kalinya, menanyakan apa yang ingin saya
pesan. Saya tersenyum dan minta diberi
dua paket makan pagi, di luar pesanan
saya dalam nampan terpisah.
Setelah membayar semua pesanan, saya
minta bantuan petugas lain di counter itu
untuk mengantarkan nampan pesanan
saya ke meja tempan duduk suami saya
dan anak saya. Sementara saya membawa
nampan lainnya berjalan melingkari sudut
ke arah meja yang telah di pilih kedua
lelaki itu untuk bbberistirahat. Saya
letakkan nampan berisi makanan itu di
atas mejanya, dan meletakan tangan saya
di atas punggung telapak tangan dingin
lelaki bermata biru itu, sambil saya
berucap, “makanan ini telah saya pesan
untuk kalian berdua.”
Kembali mara biru itu menatap dalam ke
arah saya . kini mata itu mulai basah
berkaca-kaca. Dia hanya mampu berkata,”
terima kasih banyak, nyonya.”
Saya mencoba tetap menguasai diri saya.
Sambil meneruk bahunya saya berkata,
“sesungguhnya bukan saya yang
melakukan ini untuk kalian. Tuhan juga
berada di sekitar sini fan telah
membisikan sesuatu ke telinga saya
untuk menyampaikan makanan ini kepada
kalian.”
Mendengar ucapan saya si mata biru tidak
kuasa menahan haru dan memeluk lelak
kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin
sekali saya merengkuh kedua lelaki itu.
Saya sudah tidak dapat menahan tangis
ketika berjalan meninggalkan mereka dan
bergabung dengan suami dan anak saya,
yang tidak jauh dari tempat duduk
mereka. Ketika saya duduk, suami saya
mencoba meredamkan tangis saya sambil
tersenyum dan berkata, “ sekarang saya
tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu
menjadi istriku, yang pasti, untuk
memberikan “keteduhan” bagi diriku dan
anak-anakku.”kami benar-benar
bersyukur dan menyadari bahwa hanya
karena “bisikan-Nya” lah kami telah
mampu memanfaatkan kesempatan untuk
dapat berbuat sesuatu bagi orang lain
yang sedang sangat membutuhkan.
Ketika kami sedang menyantap makanan,
dimulai dari tamu yang akan
meninggalkan restoran dan disusul oleh
beberapa tamu lainnya, mereka satu per
satu menghampiri meja kami untuk
sekedar “berjabat tangan” dengan kami.
Salah satu di antaranya, seorang bapak,
memengangi tangan saya, dan berucap,
“tanganmu ini telah memberikan
pelajaran yang mahal bagi kami semua di
sini. Jika suatu saat diberikan kesempatan
oleh-Nya, saya akan melakukannya
seperti yang telah kamu contohkan tadi
kepada kami.”
Saya hanya bisa berucap, “terima kasih,”
sambi tersenyum. Sebelum beranjak
meninggalkan restoran saya sempatkan
untuk melihat ke arah kedua lelaki itu.
seolah ada “magmet” yang
menghubungkan batin kami, mereka
langsung menoleh ke arah kami sambil
tersenyum, lalu melambaikan tangannya
ke arah kami. Dalam perjalanan pulang
saya merenungkan kembali apa yang telah
saya lakukan kepada kedua tunawisma
tadi. Tindakan itu bener-bener tidak
pernah terpikir oleh saya dan sekaligus
merupakan hidayah bagi saya, maupun
orang-orang di seitar saya saat itu.
pengalaman hari itu menunjukkan kepada
saya betapa kasih sayang Tuhan itu sangat
hangat dan indah!
Saya kembali ke college pada hari terakhir
kuliah dengan cerita ini di tangan saya.
Saya menyerahkan paper saya kepada
dosen. Keesikan harinya sebelum
memulai kuliahnya, dosen saya
memanggil saya ke depan kelas. Ia
memandang saya dan berkata,” Bolehkan
saya membagikan ceritamu ini kepada
yang lain?”
Dengan senang hati saya mengiyakan.
Ketika akan memulai kuliahnya dia
meminta perhatia dari kelas karena akan
membacakan paper saya. Ia mulai
membaca. Para siswa pun mendengarkan
dengan seksama cerita dosen, dan
ruangan kelas menjadi sunyi. Cara dan
gaya yang dimiliki san dosen dalam
membawakan cerita membuat para
mahasiswa yang hadir di ruang kuliah itu
seolah ikut melihat kejadian yang
sesungguhnya. Beberapa mahasiswi yang
duduk di deretan belakang di dekat saya
untuk mengungkapkan perasaan harunya.
Pada akhir pembacaan paper tersebut,
sang dosen sengaja menutup ceritanya
dengan mengutip salah satu kalimat yang
saya tulis di akhir paper saya, “
tersenyumlah dengan hati,u. dan kau
akan mengetahui betapa dahsyat dampak
yang ditimbulkan oleh senyummu itu,”
Untuk di renungkan : senyuman adalah
lengkungan yang meluruskan banyak
masalah. Dengan tersenyu, dunia ikut
tersenyum dengan kita. Yang paling
menakjubkan saat kita berbagi senyum
dengan orang yang susah, Tuhan akan
tersenyum kepada kita.
di kutip dah buku "100 Touching stories"

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates