Jumat, 27 September 2013

Sebuah syair dari taufik ismail

Syair untuk Seorang Petani dari
Waimital (Pulau Seram) yang pada Hari
Ini Pulang ke Almamaternya
I
Dia mahasiswa tingkat terakhir
ketika di tahun 1964 pergi ke pulau
Seram
untuk tugas membina masyarakat tani
di sana.
Dia menghilang
15 tahun lamanya.
Orangtuanya di Langsa
memintanya pulang.
IPB memanggilnya
untuk merampungkan studinya,
tapi semua
sia-sia.
II
Dia di Waimital jadi petani
Dia menyemai benih padi
Orang-orang menyemai benih padi
Dia membenamkan pupuk di bumi
Orang-orang membenamkan pupuk di
bumi
Dia menggariskan strategi irigasi
Orang-orang menggali tali air irigasi
Dia menakar klimatologi hujan
Orang-orang menampung curah hujan
Dia membesarkan anak cengkeh
Orang kampung panen raya kebun
cengkeh
Dia mengukur cuaca musim kemarau
Orang-orang jadi waspada makna
bencana kemarau
Dia meransum gizi sapi Bali
Orang-orang menggemukkan sapi Bali
Dia memasang fondasi tiang lokal
sekolah
Orang-orang memasang dinding dan
atapnya
Dia mengukir alfabet dan mengamplas
angka-angka
Anak desa jadi membaca dan menyerap
matematika
Dia merobohkan kolom gaji dan karir
birokrasi
Kasim Arifin, di Waimital
Jadi petani.
III
Dia berkaus oblong
Dia bersandal jepit
Dia berjalan kaki
20 kilo sehari
Sesudah meriksa padi
Dan tata palawija
Sawah dan ladang
Orang-orang desa
Dia melintas hutan
Dia menyeberang sungai
Terasa kelepak elang
Bunyi serangga siang
Sengangar tengah hari
Cericit tikus bumi
Teduh pohonan rimba
Siang makan sagu
Air sungai jernih
Minum dan wudhukmu
Bayang-bayang miring
Siul burung tekukur
Bunga alang-alang
Luka-luka kaki
Angin sore-sore
Mandi gebyar-gebyur
Simak suara azan
Jamaah menggesek bumi
Anak petani mengaji
Ayat-ayat alam
Anak petani diajarnya
Logika dan matematika
Lampu petromaks bergoyang
Angin malam menggoyang
Kasim merebah badan
Di pelupuh bambu
Tidur tidak berkasur.
IV
Dia berdiri memandang ladang-ladang
Yang ditebas dari hutan rimba
Di kakinya terjepit sepasang sandal
Yang dipakainya sepanjang Waimital
Ada bukit-bukit yang dulu lama kering
Awan tergantung di atasnya
Mengacungkan tinju kemarau yang
panjang
Ada bukit-bukit yang kini basah
Dengan wana sapuan yang indah
Sepanjang mata memandang
Dan perladangan yang sangat panjang
Kini telah gembur, air pun berpacu-pacu
Dengan sepotong tongkat besar, tiga
tahun lamanya
Bersama puluhan transmigran
Ditusuk-tusuknya tanah kering
kerontang
Dikais-kaisnya tanah kering kerontang
Dan air pun berpacu-pacu
Delapan kilometer panjangnya
Tanpa mesin-mesin, tiada anggaran
belanja
Mengairi tanah 300 hektar luasnya
Kulihat potret dirimu, Sim, berdiri di situ
Muhammad Kasim Arifin, di sana,
Berdiri memandang ladang-ladang
Yang telah dikupasnya dari hutan rimba
Kini sekawanan sapi Bali mengibas-
ngibaskan ekor
Di padang rumput itu
Rumput gajah yang gemuk-gemuk
Sayur-mayur yang subur-subur
Awan tergantung di atas pulau Seram
Dikepung lautan biru yang amat
cantiknya
Dari pulau itu, dia telah pulang
Dia yang dikabarkan hilang
Lima belas tahun lamanya
Di Waimital Kasim mencetak harapan
Di kota kita mencetak keluhan
(Aku jadi ingat masa kita diplonco
Dua puluh dua tahun yang lalu)
Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku
berkaca
Kulihat mukaku yang keruh dan leherku
yang berdasi
Kuludahi bayanganku di air itu karena
rasa maluku
Ketika aku mengingatmu, Sim
Di Waimital engkau mencetak harapan
Di kota, kami …
Padahal awan yang tergantung di atas
Waimital, adalah
Awan yang tergantung di atas kota
juga
Kau kini telah pulang
Kami memelukmu.
Catatan:
Bagian IV syair puisi ini dibacakan oleh
sahabatnya, yakni Bpk Taufiq
Ismail, pada hari wisuda Institut
Pertanian Bogor di kampus Darmaga,
Sabtu, 22 September 1979, sesudah
Antua M. Kasim Arifin (lahir Langsa-
Aceh Timur, 18 April 1938) menerima
gelar "Insinyur Pertanian Istimewa".
Sebelumnya, Kasim yang sudah 15
tahun dikabarkan hilang (sejak
melaksanakan Kuliah Kerja Nyata thn
1964 untuk memperkenalkan program
Panca Usaha Tani) tapi ternyata
menanam akar di Waimital –
Maluku, sehingga enggan memenuhi
panggilan Rektor Prof. Dr. Ir. Andi
Hakim Nasoetion. Pada kali ketiga
kedatangan utusan Rektor, yaitu
sahabatnya Saleh Widodo, baru Kasim
mau datang ke Bogor. Dia terharu
karena penghargaan almamaternya,
tapi pada hakekatnya dia tidak
memerlukan gelar akademik.
Pada hari wisuda itu Kasim yang
berbelas tahun berkaus oblong dan
bersandal jepit saja, kegerahan karena
mengenakan jas, dasi dan sepatu,
hadiah patungan sahabat-
sahabatnya. Mahasiswa-mahasiswa
IPB mengerubunginya selalu dan
mengaguminya sebagai teladan
keikhlasan pengamalan ilmu pertanian di
pedesaan. Berbagai tawaran pekerjaan
disampaikan padanya, tapi dia kembali
lagi ke desa Waimital sesudah
wisuda. Kemudian sesudah itu dia
menerima pekerjaan sebagai dosen di
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, di
tanah asalnya (pensiun tahun
1994). Tawaran meninjau pertanian di
Amerika Serikat ditolaknya.
Ketika ditanya kenapa kesempatan
jalan-jalan ke A.S. itu tak diterimanya,
sambil tertawa Kasim berkata bahwa
pertama-tama jangankan bahasa
Inggris, bahasa Indonesianya saja
sudah banyak lupa. Kemudian yang
penting lagi, katanya, apa manfaatnya
meninjau pertanian di sana, yang
berbeda sekali dengan pertanian kita di
sini. Kesempatan meninjau sambil liburan
tamasya ke A.S. itu tak menarik
hatinya...
Beliau memang telah lama tiada, tapi
kisah inspiratifnya tetap selalu
terkenang. Beliaulah Mahasiswa sejati,
yang akan selalu dikenang di negeri ini...
Sumber : http://
arhamin.blogspot.com/2012/01/
sebuah-puisi-dari-taufik-ismail-

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates