Senin, 25 Februari 2013

Game of Life

Beberapa dari kita yang suka main
video game baik di PC, console atau
gadget biasanya pada awal-awal
permainan diharuskan untuk
memilih tingkat kesulitan / difficulty
level. Tergantung jenis gamenya,
pada umumnya ada 3 atau lebih
difficulty level yang bisa dipilih, Easy,
Normal, Hard. Pada beberapa game
tertentu istilah tingkat kesulitan bisa
berubah, misalnya casual, normal,
elite, dsb. Walaupun berbeda istilah,
namun prinsipnya sama yaitu untuk
menyesuaikan tingkat kesulitan
game sehingga dapat dinikmati oleh
pemainnya.
Ada orang yang selalu memulai
game dengan memilih difficulty
tersulit. Menikmati tantangannya,
menikmati saat-saat dibuat frustasi
dan berpikir keras untuk bisa
menyelesaikan game tersebut
walaupun membutuhkan waktu yang
lebih lama dibandingkan difficulty
lain yang lebih mudah. Pada
akhirnya, memang ada rasa puas
yang sangat rewarding untuk mereka
yang bisa menyelesaikan game
tersebut pada difficulty yang
tertinggi. Dan untuk beberapa orang
yang menganggap gaming sebagai
bagian dari kehidupannya, perasaan
rewarding tersebut yang justru
menjadi inti dan tujuan utama dari
bermain game.
In real life, it is not that much
different. Seandainya hidup adalah
permainan, maka kita seharusnya
bisa menentukan level kesulitan
yang ingin kita mainkan. Mungkin
ada yang akan berkata, level
kesulitan hidup seseorang sudah
ditentukan sejak dia lahir, sudah
digariskan oleh takdirnya. Seorang
anak yang lahir di keluarga miskin di
jalanan Jakarta sudah pasti akan
mendapatkan difficulty very hard,
sedangkan anak yang lahir di
keluarga yang lebih mampu mungkin
akan mendapatkan difficulty very
easy.
Mungkin ada betulnya pendapat
tersebut, tapi juga banyak salahnya.
Memang betul kita tidak bisa
memilih dilahirkan seperti apa, oleh
siapa, dalam kondisi apa. Dalam
konteks tersebut, hidup kita sudah
given, tidak ada pilihan lain. Masing-
masing kita sudah diberikan sebuah
judul game yang berlainan jenis dan
tipenya. Anak orang miskin yang
disebutkan di atas punya judul dan
jenis game yang berbeda dengan
anak orang kaya tersebut, that's
given. Dan sepanjang hidupnya, si
miskin dan si kaya akan memainkan
game yang berlainan tapi bukan
berarti game yang satu lantas
menjadi lebih mudah dari game yang
lain. We live our own life just like we
play our own game.
Pilihan lebih mudah dan sulit,
kembali lagi ke masing-masing anak
tersebut. Si miskin bisa memilih
difficulty very easy, dan menjalani
hidup di jalanan, bolos sekolah, jadi
pencuri, jadi preman, dan akhirnya
dibui. Si kaya juga bisa memilih
difficulty yang sama, menjalani hidup
menghabisakan uang orang tuanya,
terjerumus narkoba, sakit-sakitan,
dan akhirnya mati muda.
Tapi mereka bisa memilih difficulty
yang sedikit lebih sulit, mungkin
difficulty normal atau hard. Si miskin
bisa memanfaatkan sekolah-sekolah
gratis untuk belajar, dapat beasiswa
atau masuk TNI, jadi orang
berpengaruh dan jangan-jangan bisa
jadi presiden. Si kaya juga bisa jadi
pengusaha sukses yang jujur, berbagi
dan berbuat untuk orang banyak,
dan jangan-jangan juga bisa jadi
presiden. It's all about choice.
Dan pada intinya, bukan hidup,
bukan pula takdir yang menentukan
tingkat kesulitan hidup kita, tapi kita
sendiri yang memilih seberapa
mudah / sulit kita ingin menjalani
hidup ini. Kalau kita perhatikan di
sekitar kita, mayoritas orang
memilih difficulty normal, menjalani
hidup seadanya, sekolah, kuliah,
kerja 8 to 5, menikah, punya anak,
pensiun, mati dengan tenang. Tapi
kalau kita tanyakan lagi, apa mereka
puas dengan bermain di level
normal ? Apa setelah sekian panjang
perjalanan hidup, mereka merasakan
rasa rewarding itu ? Jika jawaban dari
pertanyaan tersebut adalah "tidak",
masih inginkah mereka mengulang
sekali lagi game ini dan memilih
level difficulty yang lebih tinggi ?
Tapi masih adakah kesempatan yang
kedua ?
Dan lagi-lagi jawaban dari
pertanyaan di atas kembali ke
masing-masing orang. Mungkin
mayoritas memang puas bermain di
difficulty normal atau easy, and
that's fine. Tapi seperti yang sudah
disebutkan di atas, ada juga orang-
orang yang memang selalu memilih
diffculty tersulit, bahkan untuk
permainan kehidupan ini. Kita bicara
tentang orang-orang yang namanya
tercatat di sejarah dunia, Gandhi,
Mother Theresa, Hawkings, Bill
Gates, Tan Malaka, Soekarno. Tapi
kita juga melihat orang-orang itu di
sekitar kita, relawan-relawan,
pengajar dan dokter di daerah
terpencil, pemimpin-pemimpin yang
jujur dan bekerja untuk rakyat, dll.
Mereka hidup dan memilih difficulty
level yang sedikit lebih sulit
dibandingkan dengan orang-orang
kebanyakan. Kita yang selalu
memilih bermain di difficulty normal
atau malah easy, tidak akan melihat
apa yang mereka lihat, tidak akan
merasakan apa yang mereka
rasakan, dan tidak akan pernah
memperoleh kepuasan yang
rewarding pada akhir permainan
seperti yang mereka dapatkan.
Jadi, selamat memilih difficulty dari
permainan kehidupan kita masing-
masing. Tapi jangan lupa kalau kita
cuma punya satu kali kesempatan
memainkan game ini.
You only live once, and if you want a
rewarding life, play the Game of Life
at the highest possible difficulty.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates