Minggu, 18 November 2012

Kisah 25 Nabi dan Rasul - Nabi Nuh AS -

baiklah kali ini kita akan membahas
kisah Nabi Nuh AS pada zaman
rasul. Nah sobat2 nih kisah nabi kita
nuh,,moga bermanfaat ya….
Setelah beberapa tahun dari
kematian Nabi Adam. Bunga-bunga
berguguran di sekitar kuburannya
dan pohon-pohon dan batu-batuan
tampak tidak bergairah. Banyak hal
berubah di muka bumi. Dan sesuai
dengan hukum umum, terjadilah
kealpaan terhadap wasiat Nabi
Adam. Kesalahan yang dahulu
kembali terulang. Kesalahan dalam
bentuk kelupaan, meskipun kali ini
terulang secara berbeda.
Sebelum lahirnya kaum Nabi Nuh,
telah hidup lima orang saleh dari
kakek-kakek kaum Nabi Nuh. Mereka
hidup selama beberapa zaman
kemudian mereka mati. Nama-nama
mereka adalah Wadd, Suwa',
Yaghuts, Ya'uq dan Nasr. Setelah
kematian mereka, orang-orang
membuat patung-patung dari
mereka, dalam rangka menghormati
mereka dan sebagai peringatan
terhadap mereka. Kemudian
berlalulah waktu, lalu orang-orang
yang memahat patung itu mati. Lalu
datanglah anak-anak mereka,
kemudian anak-anak itu mati, dan
datanglah cucu-cucu mereka.
Kemudian timbullah berbagai
dongeng dan khurafat yang
membelenggu akal manusia di mana
disebutkan bahwa patung-patung itu
memiliki kekuatan khusus.
Di sinilah iblis memanfaatkan
kesempatan, dan ia membisikkan
kepada manusia bahwa berhala-
berhala tersebut adalah Tuhan yang
dapat mendatangkan manfaat dan
menolak bahaya sehingga akhirnya
manusia menyembah berhala-
berhala itu. Kami tidak mengetahui
sumber yang terpecaya berkenaan
dengan bagaimana bentuk kehidupan
ketika penyembahan terhadap
berhala dimulai di bumi, namun
kami mengetahui hukum umum yang
tidak pernah berubah ketika manusia
mulai cenderung kepada syirik.
Dalam situasi seperti itu, kejahatan
akan memenuhi bumi dan akal
manusia akan kalah, serta akan
meningkatnya kezaliman dan
banyaknya orang-orang yang
teraniaya. Yang kaya semakin kaya
dan yang miskin semakin miskin.
Alhasil, kehidupan manusia
semuanya akan berubah menjadi
neraka Jahim. Situasi demikian ini
pasti terjadi ketika manusia
menyembah selain Allah SWT, baik
yang disembah itu berhala dari batu,
anak sapi dari emas, penguasa dari
manusia, sistem dari berbagai sistem,
mazhab dari berbagai mazhab, atau
kuburan seorang wali. Sebab satu-
satunya yang menjamin persamaan
di antara manusia adalah, saat
mereka hanya menyembah Allah
SWT dan saat Dia diakui sebagai
Pencipta mereka dan yang membuat
undang-undang bagi mereka. Tetapi
saat jaminan ini hilang lalu ada
seorang yang mengklaim, atau ada
sistem yang mengklaim memiliki
wewenang ketuhanan maka manusia
akan binasa dan akan hilanglah
kebebasan mereka sepenuhnya.
Penyembahan kepada selain Allah
SWT bukan hanya sebagai sebuah
tragedi yang dapat menghilangkan
kebebasan, namun pengaruh
buruknya dapat merembet ke akal
manusia dan dapat mengotorinya.
Sebab, Allah SWT menciptakan
manusia agar dapat mengenal-Nya
dan menjadikan akalnya sebagai
permata yang bertujuan untuk
memperoleh ilmu. Dan ilmu yang
paling penting adalah kesadaran
bahwa Allah SWT semata sebagai
Pencipta, dan selain-Nya adalah
makhluk. Ini adalah poin penting dan
dasar pertama yang harus ada
sehingga manusia sukses sebagai
khalifah di muka bumi.
Ketika akal manusia kehilangan
potensinya dan berpaling ke selain
Allah SWT maka manusia akan
tertimpa kesalahan. Terkadang
seseorang mengalami kemajuan
secara materi karena ia berhasil
melalui jalan-jalan kemajuan,
meskipun ia tidak beriman kepada
Allah SWT, namun kemajuan materi
ini yang tidak disertai dengan
pengenalan kepada Allah SWT akan
menjadi siksa yang lebih keras
daripada siksaan apa pun, karena ia
pada akhirnya akan menghancurkan
manusia itu sendiri. Ketika manusia
menyembah selain Allah SWT maka
akan meningkatlah penderitaan
kehidupan dan kefakiran manusia.
Terdapat hubungan kuat antara
kehinaan manusia dan kefakiran
mereka, serta tidak berimannya
mereka kepada Allah. Allah SWT
berfirman:
"Seandainya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakwa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi.
" (QS. al-A'raf: 96)
Demikianlah, bahwa kufur kepada
Allah SWT atau syirik kepada-Nya
akan menyebabkan hilangnya
kebebasan dan hancurnya akal serta
meningkatnya kefakiran, serta
kosongnya kehidupan dari tujuan
yang mulia. Dalam situasi seperti ini,
Allah SWT mengutus Nuh untuk
membawa ajaran-Nya kepada
kaumnya. Nabi Nuh adalah seorang
hamba yang akalnya tidak
terpengaruh oleh polusi kolektif,
yang menyembah selain Allah SWT.
Allah SWT memilih hamba-Nya Nuh
dan mengutusnya di tengah-tengah
kaumnya.
Nuh membuat revolusi pemikiran. Ia
berada di puncak kemuliaan dan
kecerdasan. Ia merupakan manusia
terbesar di zamannya. Ia bukan
seorang raja di tengah-tengah
kaumnya, bukan penguasa mereka,
dan bukan juga orang yang paling
kaya di antara mereka. Kita
mengetahui bahwa kebesaran tidak
selalu berhubungan dengan
kerajaan, kekayaan, dan kekuasaan.
Tiga hal tersebut biasanya dimiliki
oleh jiwa-jiwa yang hina. Namun
kebesaran terletak pada kebersihan
hati, kesucian nurani, dan
kemampuan akal untuk mengubah
kehidupan di sekitarnya. Nabi Nuh
memiliki semua itu, bahkan lebih
dari itu. Nabi Nuh adalah manusia
yang mengingat dengan baik
perjanjian Allah SWT dengan Nabi
Adam dan anak-anaknya, ketika Dia
menciptakan mereka di alam atom.
Berdasarkan fitrah, ia beriman
kepada Allah SWT sebelum
pengutusannya pada manusia. Dan
semua nabi beriman kepada Allah
SWT sebelum mereka diutus. Di
antara mereka ada yang "mencari"
Allah SWT seperti Nabi Ibrahim, ada
juga di antara mereka yang beriman
kepada-Nya dari lubuk hati yang
paling dalam, seperti Nabi Musa, dan
di antara mereka juga ada yang
beribadah kepada-Nya dan
menyendiri di gua Hira, seperti Nabi
Muhammad saw.
Terdapat sebab lain berkenaan
dengan kebesaran Nabi Nuh. Ketika
ia bangun, tidur, makan, minum,
atau mengenakan pakaian, masuk
atau keluar, ia selalu bersyukur
kepada Allah SWT dan memuji-Nya,
serta mengingat nikmat-Nya dan
selalu bersyukur kepada-Nya. Oleh
karena itu, Allah SWT berkata
tentang Nuh:
"Sesungguhnya dia adalah hamba
(Allah) yang banyak bersyukur." (QS.
al-Isra': 3)
Allah SWT memilih hamba-Nya yang
bersyukur dan mengutusnya sebagai
nabi pada kaumnya. Nabi Nuh keluar
menuju kaumnya dan memulai
dakwahnya:
"Wahai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu
selain-Nya. Sesungguhnya (kalau
kamu tidak menyembah Allah), aku
takut kamu akan ditimpa azab hari
yang besar. " (QS. al-A'raf: 59)
Dengan kalimat yang singkat
tersebut, Nabi Nuh meletakkan
hakikat ketuhanan kepada kaumnya
dan hakikat hari kebangkitan. Di sana
hanya ada satu Pencipta yang berhak
disembah. Di sana terdapat
kematian, kemudian kebangkitan
kemudian hari kiamat. Hari yang
besar yang di dalamnya terdapat
siksaan yang besar.
Nabi Nuh menjelaskan kepada
kaumnya bahwa mustahil terdapat
selain Allah Yang Maha Esa sebagai
Pencipta. Ia memberikan pengertian
kepada mereka, bahwa setan telah
lama menipu mereka dan telah tiba
waktunya untuk menghentikan
tipuan ini. Nuh menyampaikan
kepada mereka, bahwa Allah SWT
telah memuliakan manusia: Dia telah
menciptakan mereka, memberi
mereka rezeki, dan menganugerahi
akal kepada mereka. Manusia
mendengarkan dakwahnya dengan
penuh kekhusukan. Dakwah Nabi
Nuh cukup mengguncangkan jiwa
mereka. Laksana tembok yang akan
roboh yang saat itu di situ ada
seorang yang tertidur dan engkau
meng-goyang tubuhnya agar ia
bangun. Barangkali ia akan takut dan
ia marah meskipun engkau bertujuan
untuk menyelamatkannya.
Akar-akar kejahatan yang ada di
bumi mendengar dan merasakan
ketakutan. Pilar-pilar kebencian
terancam dengan cinta ini yang
dibawa oleh Nabi Nuh. Setelah
mendengar dakwah Nabi Nuh,
kaumnya terpecah menjadi dua
kelompok: Kelompok orang-orang
lemah, orang-orang fakir, dan orang-
orang yang menderita, di mana
mereka merasa dilindungi dengan
dakwah Nabi Nuh, sedangkan
kelompok yang kedua adalah
kelompok orang-orang kaya, orang-
orang kuat, dan para penguasa di
mana mereka menghadapi dakwah
Nabi Nuh dengan penuh keraguan.
Bahkan ketika mereka mempunyai
kesempatan, mereka mulai
melancarkan serangan untuk
melawan Nabi Nuh. Mula-mula
mereka menuduh bahwa Nabi Nuh
adalah manusia biasa seperti
mereka:
"Maka berkatalah pemimpin-
pemimpin yang kafir dari kaumnya:
'Kami tidak melihat kamu, melainkan
(sebagai) seorang manusia (biasa)
seperti kami.'" (QS. Hud: 27)
Dalam tafsir al-Quturbi disebutkan:
"Masyarakat yang menentang
dakwahnya adalah para pembesar
dari kaumnya. Mereka dikatakan al-
Mala' karena mereka seringkali
berkata. Misalnya mereka berkata
kepada Nabi Nuh: "Wahai Nuh,
engkau adalah manusia biasa."
Padahal Nabi Nuh juga mengatakan
bahwa ia memang manusia biasa.
Allah SWT mengutus seorang rasul
dari manusia ke bumi karena bumi
dihuni oleh manusia. Seandainya
bumi dihuni oleh para malaikat
niscaya Allah SWT mengutus seorang
rasul dari malaikat.
Berlanjutlah peperangan antara
orang-orang kafir dan Nabi Nuh.
Mula-mula, rezim penguasa
menganggap bahwa dakwah Nabi
Nuh akan mati dengan sendirinya,
namun ketika mereka melihat bahwa
dakwahnya menarik perhatian
orang-orang fakir, orang-orang
lemah, dan pekerja-pekerja
sederhana, mereka mulai menyerang
Nabi Nuh dari sisi ini. Mereka
menyerangnya melalui pengikutnya
dan mereka berkata kepadanya:
"Tiada yang mengikutimu selain
orang-orang fakir dan orang-orang
lemah serta orang-orang hina."
Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami telah
mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia
berkata): 'Sesungguhnya aku adalah
pemberi peringatan yang nyata bagi
kamu, agar kamu tidak menyembah
selain Allah. Sesungguhnya aku
khawatir kamu akan ditimpa azab
(pada) hari yang sangat
menyedihkan. Maka berkatalah
pemimpin-pemimpin yang kafir dari
kaumnya: 'Kami tidak melihat kamu,
melainkan (sebagai) seorang
manusia (biasa) seperti kami, dan
kami tidak melihat orang-orang yang
mengikutimu, melainkan orang-
orang yang hina dina di antara kami
yang lekas percaya saja, dan kami
tidak melihat kamu memiliki sesuatu
kelebihan apa pun atas kami, bahkan
kami yakin bahwa kamu adalah
orang-orang yang berdusta. " (QS.
Hud: 25-27)
Demikianlah telah berkecamuk
pertarungan antara Nabi Nuh dan
para bangsawan dari kaumnya.
Orang-orang yang kafir itu
menggunakan dalih persamaan dan
mereka berkata kepada Nabi Nuh:
"Dengarkan wahai Nuh, jika engkau
ingin kami beriman kepadamu maka
usirlah orang-orang yang beriman
kepadamu. Sesungguhnya mereka itu
orang-orang yang lemah dan orang-
orang yang fakir, sementara kami
adalah kaum bangsawan dan orang-
orang kaya di antara mereka. Dan
mustahil engkau menggabungkan
kami bersama mereka dalam satu
dakwah (majelis)." Nabi Nuh
mendengarkan apa yang dikatakan
oleh orang-orang kafir dari
kaumnya. la mengetahui bahwa
mereka menentang. Meskipun
demikian, ia menjawabnya dengan
baik. Ia memberitahukan kepada
kaumnya bahwa ia tidak dapat
mengusir orang-orang mukmin,
karena mereka bukanlah tamu-
tamunya namun mereka adalah
tamu-tamu Allah SWT. Rahmat
bukan terletak dalam rumahnya di
mana masuk di dalamnya orang-
orang yang dikehendakinya dan
terusir darinya orang-orang yang
dikehendakinya, tetapi rahmat
terletak dalam rumah Allah SWT di
mana Dia menerima siapa saja yang
dikehendaki-Nya di dalamnya. Allah
SWT berfirman:
"Berkata Nuh: 'Hai kaumku,
bagaimana pikiranmu, jika aku
mempunyai bukti yang nyata dari
Tuhanku, dan diberinya aku rahmat
dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu
disamarkan bagimu. Apa akan kami
paksakankah kamu menerimanya,
padahal kamu tidak menyukainya?
Dan (dia berkata): 'Hai kaumku, aku
tidak meminta harta benda kepada
kamu (sebagai upah) bagi seruanku.
Upahku hanyalah dari Allah dan aku
sekali-kali tidak akan mengusir
orang-orang yang telah beriman.
Sesungguhnya mereka akan bertemu
dengan Tuhannya, akan tetapi aku
memandangmu suatu kaum yang
tidak mengetahui.' Dan (dia
berkata): 'Hai kaumku, siapakah
yang dapat menolongku dari (azab)
Allah jika aku mengusir mereka.
Maka tidakkan kamu mengambil
pelajaran?' Dan aku tidak
mengatakan kepada kamu (bahwa):
'Aku mempunyai gudang-gudang
rezeki dan kekayaan dari Allah, dan
aku tidak mengetahui hal yang gaib,
dan tidak pula aku mengatakan:
'Sesungguhnya aku adalah malaikat,'
dan tidak juga aku mengatakan
kepada orang-orang yang dipandang
hina oleh penglihatanmu: 'Sekali-kali
Allah tidak akan mendatangkan
kebaikan kepada mereka. Allah lebih
mengetahui apa yang ada pada
mereka. Sesungguhnya aku kalau
begitu benar-benar termasuk orang-
orang yang lalim.'" (QS. Hud: 28-31)
Nuh mematahkan semua
argumentasi orang-orang kafir
dengan logika para nabi yang mulia.
Yaitu, logika pemikiran yang sunyi
dari kesombongan pribadi dan
kepentingan-kepentingan khusus.
Nabi Nuh berkata kepada mereka
bahwa Allah SWT telah memberinya
agama, kenabian, dan rahmat.
Sedangkan mereka tidak melihat apa
yang diberikan Allah SWT
kepadanya. Selanjutnya, ia tidak
memaksakan mereka untuk
mempercayai apa yang
disampaikannya saat mereka
membenci. Kalimat tauhid (tiada
Tuhan selain Allah) tidak dapat
dipaksakan atas seseorang. Ia
memberitahukan kepada mereka
bahwa ia tidak meminta imbalan dari
mereka atas dakwahnya. Ia tidak
meminta harta dari mereka sehingga
memberatkan mereka.
Sesungguhnya ia hanya
mengharapkan pahala (imbalan) dari
Allah SWT. Allahlah yang memberi
pahala kepadanya. Nabi Nuh
menerangkan kepada mereka bahwa
ia tidak dapat mengusir orang-orang
yang beriman kepada Allah SWT.
Meskipun sebagai Nabi, ia memiliki
keterbatasan dan keterbatasan itu
adalah tidak diberikannya hak
baginya untuk mengusir orang-orang
yang beriman karena dua alasan.
Bahwa mereka akan bertemu dengan
Alllah SWT dalam keadaan beriman
kepada-Nya, maka bagaimana ia akan
mengusir orang yang beriman
kepada Allah SWT, kemudian
seandainya ia mengusir mereka,
maka mereka akan menentangnya di
hadapan Allah SWT. Ini berakibat
pada pemberian pahala dari Allah
SWT atas keimanan mereka dan
balasan-Nya atas siapa pun yang
mengusir mereka. Maka siapakah
yang dapat menolong Nabi Nuh dari
siksa Allah SWT seandainya ia
mengusir mereka?
Demikianlah Nabi Nuh menunjukkan
bahwa permintaan kaumnya agar ia
mengusir orang-orang mukmin
adalah tindakan bodoh dari mereka.
Nabi Nuh kembali menyatakan
bahwa ia tidak dapat melakukan
sesuatu yang di luar wewenangnya,
dan ia memberitahu mereka akan
kerendahannya dan kepatuhannya
kepada Allah SWT. Ia tidak dapat
melakukan sesuatu yang merupakan
bagian dari kekuasaan Allah SWT,
yaitu pemberian nikmat-Nya kepada
hamba-hamba-Nya yang
dikehendaki-Nya. Ia tidak
mengetahui ilmu gaib, karena ilmu
gaib hanya khusus dimiliki oleh Allah
SWT. Ia juga memberitahukan
kepada mereka bahwa ia bukan
seorang raja, yakni kedudukannya
bukan seperti kedudukan para
malaikat. Sebagian ulama
berargumentasi dari ayat ini bahwa
para malaikat lebih utama dari pada
para nabi (silakan melihat tafsir
Qurthubi).
Nabi Nuh berkata kepada mereka:
"Sesungguhnya orang-orang yang
kalian pandang sebelah mata, dan
kalian hina dari orang-orang
mukmin yang kalian remehkan itu,
sesungguhnya pahala mereka itu
tidak sirna dan tidak berkurang
dengan adanya penghinaan kalian
terhadap mereka. Sungguh Allah
SWT lebih tahu terhadap apa yang
ada dalam diri mereka. Dialah yang
membalas amal mereka. Sungguh
aku telah menganiaya diriku sendiri
seandainya aku mengatakan bahwa
Allah tidak memberikan kebaikan
kepada mereka."
Kemudian rezim penguasa mulai
bosan dengan debat ini yang
disampaikan oleh Nabi Nuh. Allah
SWT menceritakan sikap mereka
terhadap Nabi Nuh dalam flrman-
Nya:
"Mereka berkata: 'Hai Nuh,
sesungguhnya kamu telah berbantah
dengan kami, dan kamu telah
memperpanjang bantahanmu
terhadap kami, maka datangkanlah
kepada kami azab yang kamu
ancamkan kepada kami, jika kamu
termasuk orang-orang yang benar.'
Nuh menjawab: 'Hanyalah Allah yang
akan mendatangkan azab itu
kepadamu jika Dia menghendaki, dan
kamu sekali-kali tidak dapat
melepaskan diri. Dan tidaklah
bermanfaat kepadamu nasihatku jika
aku hendak memberi nasihat kepada
kamu, sekiranya Allah hendak
menyesatkan kamu. Dia adalah
Tuhanmu, dan kepada-Nyalah kamu
dikembalikan. " (QS. Hud: 32-34)
Nabi Nuh menambahkan bahwa
mereka tersesat dari jalan Allah
SWT. Allahlah yang menjadi sebab
terjadinya segala sesuatu, namun
mereka memperoleh kesesatan
disebabkan oleh ikhtiar mereka dan
kebebasan mereka serta keinginan
mereka. Dahulu iblis berkata:
"Karena Engkau telah menghukum
saya tersesat..." (QS. al-A'raf: 16)
Secara zahir tampak bahwa makna
ungkapan itu berarti Allahlah yang
menyesatkannya, padahal hakikatnya
adalah bahwa Allah SWT telah
memberinya kebebasan dan
kemudian Dia akan meminta
pertanggungjawabannya. Kita tidak
sependapat dengan pandangan al-
Qadhariyah, al-Mu'tazilah, dan
Imamiyah. Mereka berpendapat
bahwa keinginan manusia cukup
sebagai kekuatan untuk melakukan
perbuatannya, baik berupa ketaatan
maupun kemaksiatan. Karena bagi
mereka, manusia adalah pencipta
perbuatannya. Dalam hal itu, ia tidak
membutuhkan Tuhannya. Kami tidak
mengambil pendapat mereka secara
mutlak. Kami berpendapat bahwa
manusia memang menciptakan
perbuatannya namun ia
membutuhkan bantuan Tuhannya
dalam melakukannya[1].
Alhasil, Allah SWT mengerahkan
setiap makhluk sesuai dengan arah
penciptaannya, baik pengarahann itu
menuju kebaikan atau keburukan. Ini
termasuk kebebasan sepenuhnya.
Manusia memilih dengan
kebebasannya kemudian Allah SWT
mengerahkan jalan menuju
pilihannya itu. Iblis memilih jalan
kesesatan maka Allah SWT
mengerahkan jalan kesesatan itu
padanya, sedangkan orang-orang
kafir dari kaum Nabi Nuh memilih
jalan yang sama maka Allah pun
mengerahkan jalan itu pada mereka.
Peperangan pun berlanjut, dan
perdebatan antara orang-orang kafir
dan Nabi Nuh semakin melebar,
sehingga ketika argumentasi-
argumentasi mereka terpatahkan
dan mereka tidak dapat mengatakan
sesuatu yang pantas, mereka mulai
keluar dari batas-batas adab dan
berani mengejek Nabi Allah.
"Pemuka-pemuka dari kaumnya
berkata: 'Sesungguhnya kami
memandang kamu berada dalam
kesesatan yang nyata." (QS. al-A'raf:
60)
Nabi Nuh menjawab dengan
menggunakan sopan-santun para
nabi yang agung.
"Nuh menjawab: 'Hai kaumku, tak
ada padaku kesesatan sedikit pun
tetapi aku adalah utusan dari Tuhan
semesta alam. Aku sampaikan
kepadamu amanat-amanat Tuhanku
dan aku memberi nasihat kepadamu,
dan aku mengetahui dari Allah apa
yang tidak kamu ketahui." (QS. al-
A'raf: 61-62)
Nabi Nuh tetap melanjutkan dakwah
di tengah-tengah kaumnya, waktu
demi waktu, hari demi hari, dan
tahun demi tahun. Berlalulah masa
yang panjang itu, namun Nabi Nuh
tetap mengajak kaumnya. Nabi Nuh
berdakwah kepada mereka siang
malam, dengan sembunyi-sembunyi
dan terang-terangan, bahkan ia pun
memberikan contoh-contoh pada
mereka. Ia menjelaskan kepada
mereka tanda-tanda kebesaran Allah
SWT dan kekuasaan-Nya di dunia.
Namun setiap kali ia mengajak
mereka untuk menyembah Allah
SWT, mereka lari darinya, dan setiap
kali ia mengajak mereka agar Allah
SWT mengampuni mereka, mereka
meletakkan jari-jari mereka di
telinga-telinga mereka dan mereka
menampakkan kesombongan di
depan kebenaran. Allah SWT
menceritakan apa yang dialami oleh
Nabi Nuh dalam firman-Nya:
"Nuh berkata: 'Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku telah menyeru
kaumku malam dan siang, maka
seruanku itu hanyalah menambah
mereka lari (dari kebenaran). Dan
sesungguhnya setiap kali aku
menyeru mereka agar Engkau
mengampuni mereka, mereka
memasukkan anak jari mereka ke
dalam telinganya dan menutupkan
bajunya (ke mukanya) dan mereka
tetap (mengingkari) dan
menyombongkan diri dengan
keterlaluan. Kemudian sesungguhnya
aku telah menyeru mereka dengan
cara yang terang-terangan,
kemudian aku menyeru mereka lagi
dengan terang-terangan dan dengan
diam-diam, maka aku katakan kepada
mereka: 'Mohonlah ampun kepada
Tuhanmu. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Pengampun. Dia akan
mengirimkan hujan kepadamu
dengan lebat, dan membanyakkan
harta dan anak-anakmu, dan
mengadakan untukmu kebun-kebun
dan mengadakan (pula di dalamnya)
untukmu sungai-sungai.'" (QS. Nuh:
5-12)
Namun apa jawaban kaumnya?
"Nuh berkata: 'Ya Tuhanku,
sesungguhnya mereka telah
mendurhakaiku, dan telah mengikuti
orang-orang yang harta dan anak-
anaknya tidak menambah kepadanya
melainkan kerugian belaka. Mereka
telah melakukan tipu-daya yang
amat besar. Dan mereka berkata:
'Janganlah sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan)
tuhan-tuhan kamu dan jangan pula
sekali-kali meninggalkan (pen­
yembahan) wadd, suwa, yaghuts,
yauq, dan nasr. Dan sesudahnya
mereka telah menyesatkan
kebanyakan (manusia); dan
janganlah Engkau tambahkan bagi
orang-orang lalim itu selain
kesesatan,'" (QS. Nuh: 21-24)
Nuh tetap melanjutkan dakwah di
tengah-tengah kaumnya selama 950
tahun. Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami telah
mengutus Nuh kepada kaumnya,
maka ia tinggal di antara mereka
seribu tahun kurang lima puluh
tahun. " (QS. aPAnkabut: 14)
Sayangnya, jumlah kaum mukmin
tidak bertambah sedangkan jumlah
kaum kafir justru bertambah. Nabi
Nuh sangat sedih namun ia tidak
sampai kehilangan harapan. la
senantiasa mengajak kaumnya dan
berdebat dengan mereka. Namun
kaumnya selalu menghadapinya
dengan kesombongan, kekufuran,
dan penentangan. Nabi Nuh sangat
bersedih terhadap kaumnya namun
ia tidak sampai berputus asa. la tetap
menjaga harapan selama 950 tahun.
Tampak bahwa usia manusia
sebelum datangnya topan cukup
panjang. Dan barangkali usia
panjang bagi Nabi Nuh merupakan
mukjizat khusus baginya.
Datanglah hari di mana Allah SWT
mewahyukan kepada Nabi Nuh
bahwa orang-orang yang beriman
dari kaumnya tidak akan bertambah
lagi. Allah SWT mewahyukan
kepadanya agar ia tidak bersedih
atas tindakan mereka. Maka pada
saat itu, Nabi Nuh berdoa agar
orang-orang kafir dihancurkan. la
berkata:
"Ya Tuhanku, janganlah Engkau
biarkan seorang pun di antara orang-
orang kafir itu tinggal di atas
bumi." (QS. Nuh: 26)
Nabi Nuh membenarkan doanya
dengan alasan:
"Sesungguhnya jika Engkau biarkan
mereka tinggal, niscaya mereka akan
menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan
mereka tidak akan melahirkan selain
anak yang berbuat maksiat dan kafir.
" (QS. Nuh: 27)
Allah SWT berfirman dalam surah
Hud:
"Dan diwahyukan kepada Nuh,
bahwasannya sekali-kali tidak akan
beriman di antara kaummu, kecuali
orang-orang yang telah beriman
saja, karena itu janganlah kamu
bersedih hati tentang apa yang selalu
mereka kerjakan. Dan buatlah
bahtera itu dengan pengawasan dan
petunjuk wahyu Kami, dan janganlah
kamu bicarakan dengan Aku tentang
orang-orang yang lalim itu.
Sesungguhnya mereka itu akan
ditenggelamkan. (QS. Hud: 36-37)
Kemudian Allah SWT menetapkan
hukum-Nya atas orang-orang kafir,
yaitu datangnya angin topan. Allah
SWT memberitahu Nuh, bahwa ia
akan membuat perahu ini dengan
"pengawasan Kami dan wahyu kami,"
yakni dengan ilmu Allah SWT dan
pengajaran-Nya, serta sesuai dengan
pengarahan-Nya dan bantuan para
malaikat.
Allah SWT menetapkan perintah-Nya
kepada Nuh:
"Dan janganlah kamu bicarakan
dengan Aku tentang orang-orang
yang lalim itu. Sesungguhnya mereka
itu akan ditenggelamkan. (QS. Hud:
37)
Allah SWT menenggelamkan orang-
orang yang lalim, apa pun
kedudukan mereka dan apa pun
kedekatan mereka dengan Nabi.
Allah SWT melarang Nabi-Nya untuk
berdialog dengan mereka atau
menengahi urusan mereka. Nabi Nuh
mulai menanam pohon untuk
membuat perahu darinya. Ia
menunggu beberapa tahun,
kemudian ia memotong apa yang
ditanamnya dan mulai merakitnya.
Akhirnya, jadilah perahu yang besar,
yang tinggi, dan kuat.
Para mufasir berbeda pendapat
tentang besarnya perahu itu,
bentuknya, masa pembuatannya,
tempat pembuatannya dan lain-lain.
Berkenaan dengan hal tersebut
Fakhrur Razi berkata: "Ketahuilah
bahwa pembahasan ini tidak menarik
bagiku karena ia merupakan hal-hal
yang tidak perlu diketahuinya. Saya
kira mengetahui hal tersebut hanya
mendatangkan manfaat yang
sedikit." Mudah-mudahan Allah SWT
merahmati Fakhrur Razi yang
menyatakan kebenaran dengan
kalimatnya itu. Kita tidak
mengetahui hakikat perahu ini,
kecuali apa yang telah Allah SWT
ceritakan kepada kita tentang hal itu.
Misalnya, kita tidak mengetahui
dimana ia dibuat, berapa panjangnya
atau lebarnya, dan kita secara pasti
tidak mengetahui selain tempat yang
ditujunya setelah ia berlabuh.
Allah SWT tidak memberikan
keterangan secara detail berkenaan
dengan hal tersebut yang tidak
memberikan kepentingan pada
kandungan cerita dan tujuannya
yang penting. Nabi Nuh mulai
membangun perahu, lalu orang-
orang kafir lewat di depannya saat ia
dalam keadaan serius membuat
perahu. Saat itu, cuaca atau udara
sangat kering, dan di sana tidak
terdapat sungai atau laut yang dekat.
Bagaimana perahu ini akan berlayar
wahai Nuh? Apakah ia akan berlayar
di atas tanah? Di manakah air yang
memungkinkan bagi perahumu
untuk belayar? Sungguh Nuh telah
gila! Orang-orang kafir semakin
tertawa terbahak-bahak dan semakin
mengejek Nabi Nuh.
Puncak pertentangan dalam kisah
Nabi Nuh tampak dalam masa ini.
Kebatilan mengejek kebenaran dan
cukup lama menertawakan
kebenaran. Mereka menganggap
bahwa dunia adalah milik mereka
dan bahwa mereka akan selalu
mendapatkan keamanan dan bahwa
siksa tidak akan terjadi. Namun
anggapan mereka itu tidak terbukti.
Datangnya angin topan
menjungkirbalikkan semua perkiraan
mereka. Saat itu, orang-orang
mukmin mengejek balik orang-orang
kafir dan ejekan mereka adalah
kebenaran. Allah SWT berfirman:
"Dan mulailah Nuh membuat bahtera
itu. Dan setiap kali pemimpin
kaumnya berjalan metewati Nuh,
mereka mengejeknya. Berkatalah
Nuh: 'Jika kamu mengejek kami,
maka sesungguhnya kami (pun) akan
mengejekmu sebagaimana kamu
sekalian mengejek kami. Kelak kamu
akan mengetahui siapa yang akan
ditimpa oleh azab yang menghinakan
dan yang akan ditimpa azab yang
kekal." (QS. Hud: 38-39)
Selesailah pembuatan perahu dan
duduk menunggu perintah Allah
SWT. Allah SWT mewahyukan kepada
Nabi Nuh bahwa jika ada yang
mempunyai dapur, maka ini sebagai
tanda dimulainya angin topan. Di
sebutkan bahwa tafsiran dari at-
Tannur ialah oven (alat untuk
memanggang roti) yang ada di dalam
rumah Nabi Nuh. Jika keluar darinya
air dan ia lari maka itu merupakan
perintah bagi Nabi Nuh untuk
bergerak. Maka pada suatu hari
tannur itu mulai menunjukkan tanda-
tandanya dari dalam rumah Nabi
Nuh, lalu Nabi Nuh segera membuka
perahunya dan mengajak orang-
orang mukmin untuk menaikinya.
Jibril turun ke bumi. Nabi Nuh
membawa burung, binatang buas,
binatang yang berpasang-pasangan,
sapi, gajah, semut, dan lain-lain.
Dalam perahu itu, Nabi Nuh telah
membuat kandang binatang buas.
Jibril menggiring setiap dua binatang
yang berpasangan agar setiap spesies
binatang tidak punah dari muka
bumi. Ini berarti bahwa angin topan
telah menenggelamkan bumi
semuanya, kalau tidak demikian
maka buat apa ia harus mengangkut
jenis binatang-binatang itu. Binatang-
binatang mulai menaiki perahu itu
beserta orang-orang yang beriman
dari kaumnya. Jumlah orang-orang
mukmin sangat sedikit. Allah SWT
berfirman:
"Hingga apabila perintah Kami
datang dan tannur telah
memancarkan air, Kami berfirman:
'Muatkanlah ke dalam bahtera itu
dari masing-masing binatang
sepasang (jantan dan betina), dan
keluargamu kecuali orang yang
terdahulu ketetapan terhadapnya
dan (muatkanlah pula) orang-orang
yang beriman.' Dan tidak beriman
bersama Nuh itu kecuali sedikit.
" (QS. Hud: 40)
Istri Nabi Nuh tidak beriman
kepadanya sehingga ia tidak ikut
menaiki perahu, dan salah satu
anaknya menyembunyikan
kekafirannya dengan menampakkan
keimanan di depan Nabi Nuh, dan ia
pun tidak ikut menaikinya. Mayoritas
manusia saat itu tidak beriman
sehingga mereka tidak turut
berlayar. Hanya orang-orang
mukmin yang mengarungi lautan
bersamanya. Ibnu Abbas berkata:
"Terdapat delapan puluh orang dari
kaum Nabi Nuh yang beriman
kepadanya."
Air mulai meninggi yang keluar dari
celah-celah bumi. Tiada satu celah
pun di bumi kecuali keluar air
darinya. Sementara dari langit
turunlah hujan yang sangat deras
yang belum pernah turun hujan
dengan curah seperti itu di bumi,
dan tidak akan ada hujan seperti itu
sesudahnya. Lautan semakin
bergolak dan ombaknya menerpa
apa saja dan menyapu bumi. Perut
bumi bergerak dengan gerakan yang
tidak wajar sehingga bola bumi
untuk pertama kalinya tenggelam
dalam air sehingga ia menjadi bola
air. Allah SWT berfirman:
"Maka Kami bukakan pintu-pintu
langit dengan (menurunkan) air
yang tercurah. Dan Kami jadikan
bumi memancarkan mata air-mata
air maka bertemulah air-air itu
untuk satu urusan yang sungguh
telah ditetapkan. Dan Kami angkut
Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat
dari papan dan paku. (QS. al-Qamar:
11-13)
Air meninggi di atas kepala manusia,
dan ia melampaui ketinggian pohon,
bahkan puncak gunung. Akhirnya,
permukaan bumi diselimuti dengan
air. Ketika mula-mula datang topan,
Nabi Nuh memanggil-manggil
putranya. Putranya itu berdiri agak
jauh darinya. Nabi Nuh
memanggilnya dan berkata:
"Hai anakku, naiklah (ke kapal)
bersama kami dan janganlah kamu
berada bersama orang-orang yang
kafir." (QS. Hud: 42)
Anak itu menjawab ajakan ayahnya:
"Aku akan mencari perlindungan ke
gunung yang dapat memeliharaku
dari air bah." (QS. Hud: 43)
Nabi Nuh kembali menyerunya:
"Tidak add yang melindungi hari ini
dari azab Allah selain orang yang
dirahmati-Nya. " (QS. Hud: 43)
Selesailah dialog antara Nabi Nuh
dan anaknya.
"Dan gelombang menjadi penghalang
antara keduanya; maka jadilah anak
itu termasuk orang-orang yang
ditenggelamkan. " (QS. Hud: 43)
Perhatikanlah ungkapan AI-Qur'an
al-Karim: Dan gelombang menjadi
penghalang antara keduanya. Ombak
tiba-tiba mengakhiri dialog mereka.
Nabi Nuh mencari, namun ia tidak
mendapati anaknya. Ia tidak
menemukan selain gunung ombak
yang semakin meninggi dan
meninggi bersama perahu itu. Nabi
Nuh ddak dapat melihat segala
sesuatu selain air. Allah SWT
berkehendak—sebagai rahmat dari-
Nya—untuk menenggelamkan si anak
jauh dari penglihatan si ayah. Inilah
kasih sayang Allah SWT terhadap si
ayah. Anak Nabi Nuh mengira bahwa
gunung akan mencegahnya dari
kejaran air namun ia pun terkejar
dan tenggelam. Angin topan terus
berlanjut dan terus membawa
perahu Nabi Nuh. Setelah berlalu
beberapa saat, pemandangan tertuju
kepada bumi yang telah musnah
sehingga tiada kehidupan kecuali
sebagian kayu yang darinya Nabi
Nuh membuat perahu di mana ia
menyelamatkan orang-orang
mukmin, begitu juga berbagai
binatang yang ikut bersama mereka.
Adalah hal yang sulit bagi kita untuk
membayangkan kedahsyatan topan
itu. Yang jelas, ia menunjukkan
kekuasaan Pencipta. Perahu itu
berlayar dengan mereka dalam
ombak yang laksana gunung.
Sebagian ilmuwan meyakini bahwa
terpisahnya beberapa benua dan
terbentuknya bumi dalam rupa
seperti sekarang adalah sebagai
akibat dari topan yang dahulu.
Topan yang dialami oleh Nabi Nuh
terus berlanjut dalam beberapa
zaman di mana kita tidak dapat
mengetahui batasnya. Kemudian
datanglah perintah Ilahi agar langit
menghentikan hujannya dan agar
bumi tetap tenang dan menelan air
itu, dan agar kayu-kayu perahu
berlabuh di al-Judi, yaitu nama suatu
tempat di zaman dahulu. Ada yang
mengatakan bahwa ia adalah gunung
yang terletak di Irak. Dengan
datangnya perintah Ilahi, bumi
kembali menjadi tenang dan air
menjadi surut. Topan telah
menyucikan bumi dan
membasuhnya. Allah SWT
berfirman:
"Dan difirmankan: 'Hai bumi telanlah
airmu, dan hai langit (hujan)
berhentilah,' dan air pun disurutkan,
perintah pun diselesaikan dan
bahtera itu pun berlabuh di atas
bukitjudi. Dan dikatakan: 'Binasalah
orang-orang yang lalim. " (QS. Hud:
44)
Dan air pun disurutkan, yakni air
berkurang dan kembali ke celah-
celah bumi. Segala urusan telah
diputuskan dan orang-orang kafir
telah hancur sepenuhnya. Dikatakan
bahwa Allah SWT me-mandulkan
rahim-rahim wanita selama empat
puluh tahun sebelum datangnya
topan, karena itu tidak ada yang
terbunuh seorang anak bayi atau
anak kecil.
Firman-Nya: Dan bahtera itu pun
berlabuh di atas bukit judi, yakni ia
berlabuh di atasnya. Di sebutkan
bahwa hari itu bertepatan dengan
hari Asyura' (hari kesepuluh dari
bulan Muharam). Lalu Nabi Nuh
berpuasa dan memerintahkan orang-
orang yang bersamanya untuk
berpuasa juga.
Dikatakan: 'Binasalah orang-orang
yang lalim, 'yakni kehancuran bagi
mereka. Topan menyucikan bumi
dari mereka dan membersihkannya.
Lenyaplah peristiwa yang
mengerikan dengan lenyapnya
topan. Dan berpindahlah pergulatan
dari ombak ke jiwa Nabi Nuh. Ia
mengingat anaknya yang tenggelam.
Nabi Nuh tidak mengetahui saat itu
bahwa anaknya menjadi kafir. Ia
menganggap bahwa anaknya sebagai
seorang mukmin yang memilih untuk
menyelamatkan diri dengan cara
berlindung kepada gunung. Namun
ombak telah mengakhiri percakapan
keduanya sebelum mereka
menyelesaikannya. Nabi Nuh tidak
mengetahui seberapa jauh bagian
keimanan yang ada pada anaknya.
Lalu bergeraklah naluri kasih sayang
dalam hati sang ayah. Allah SWT
berfirman:
"Dan Nuh berseru kepada Tuhannya
sambil berkata: 'Ya Tuhanku,
sesungguhnya anakku termasuk
keluargaku, dan sesungguhnya janji
Engkau itulah yang benar. Dan
Engkau adalah Hakim yang seadil-
adilnya. " (QS. Hud: 45)
Nuh ingin berkata kepada Allah SWT
bahwa anaknya termasuk dari
keluarganya yang beriman dan Dia
menjanjikan untuk menyelamatkan
keluarganya yang beriman. Allah
SWT berkata dan menjelaskan
kepada Nuh keadaan sebenarnya
yang ada pada anaknya:
"Hai Nuh, sesungguhnya dia
bukanlah termasuk keluargamu
(yang dijanjikan akan diselamatkan).
Sesungguhnya perbuatannya tidak
baik. Sebab itu, janganlah kamu
memohon kepada-Ku sesuatu yang
kamu tidak mengetahui (hakikatnya).
Aku memperingatkan kepa-damu
supaya kamu jangan termasuk
orang-orang yang tidak
berpengetahuan.'" (QS. Hud: 46)
Al-Qurthubi berkata—menukil dari
guru-gurunya dari kalangan ulama—
ini adalah pendapat yang kami
dukung: "Anaknya berada di sisinya
(yakni bersama Nabi Nuh dan dalam
dugaannya ia seorang mukmin). Nabi
Nuh tidak berkata kepada Tuhannya:
"Sesungguhnya anakku termasuk
keluargaku," kecuali karena ia
memang menampakkan hal yang
demikian kepadanya. Sebab,
mustahil ia meminta kehancuran
orang-orang kafir kemudian ia
meminta agar sebagian mereka
diselamatkan."
Anaknya menyembunyikan
kekufuran dan menampakkan
keimanan. Lalu Allah SWT
memberitahukan kepada Nuh ilmu
gaib yang khusus dimiliki-Nya. Yakni
Allah SWT memberitahunya keadaan
sebenarnya dari anaknya. Allah SWT
ketika menasihatinya agar jangan
sampai ia menjadi orang-orang yang
tidak mengerti. Dia ingin
menghilangkan darinya anggapan
bahwa anaknya beriman kemudian
mati bersama orang-orang kafir.
Di sana terdapat pelajaran penting
yang terkandung dalam ayat-ayat
yang mulia itu, yang menceritakan
kisah Nabi Nuh bersama anaknya.
Allah SWT ingin berkata kepada
Nabi-Nya yang mulia bahwa anaknya
bukan termasuk keluarganya karena
ia tidak beriman kepada Allah SWT.
Hubungan darah bukanlah hubungan
hakiki di antara manusia. Anak
seorang nabi adalah anaknya yang
meyakini akidah, yaitu mengikuti
Allah SWT dan nabi, dan bukan
anaknya yang menentangnya,
meskipun berasal dari sulbinya. Jika
demikian seorang mukmin harus
menghindar dari kekufuran. Dan di
sini juga harus di teguhkan
hubungan sesama akidah di antara
orang-orang mukmin. Adalah tidak
benar jika hubungan sesama mereka
dibangun berdasarkan darah, ras,
warna kulit, atau tempat tinggal.
Nabi Nuh memohon ampun kepada
Tuhannya dan bertaubat kepada-
Nya. Kemudian Allah SWT
merahmatinya dan
memerintahkannya untuk turun dari
perahu dalam keadaan dipenuhi
dengan keberkahan dari Allah SWT
dan penjagaan-Nya:
"Nuh berkata: 'Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku berlindung kepada
Engkau dari memohon kepada
Engkau sesuatu yang aku tiada
mengetahui (hakikatnya). Dan
sekiranya Engkau tidak memberi
ampun kepadaku, dan (tidak)
menaruh mbelas kasihan kepadaku,
niscaya aku akan termasuk orang-
orang yang merugi. " (QS. Hud: 47)
"Difirmankan: 'Hai Nuh, turunlah
dengan selamat dan penuh
keberkatan dari Kami atasmu dan
atas umat-umat (yang beriman) dari
orang-orang yang bersamamu.'" (QS.
Hud: 48)
Nabi Nuh turun dari perahunya dan
ia melepaskan burung-burung dan
binatang-binatang buas sehingga
mereka menyebar ke bumi. Setelah
itu, orangorang mukmin juga tumn.
Nabi Nuh meletakkan dahinya ke
atas tanah dan bersujud. Saat itu
bumi masih basah karena pengaruh
topan. Nabi Nuh bangkit setelah
salatnya dan menggali pondasi untuk
membangun tempat ibadah yang
agung bagi Allah SWT. Orang-orang
yang selamat menyalakan api dan
duduk-duduk di sekelilinginya.
Menyalakan api sebelumnya di
larang di dalam perahu karena
dikhawatirkan api akan menyentuh
kayu-kayunya dan membakarnya.
Tak seorang pun di antara mereka
yang memakan makanan yang
hangat selama masa topan.
Berlalulah hari puasa sebagai tanda
syukur kepada Allah SWT. Al-Qur'an
tidak lagi menceritakan kisah Nabi
Nuh setelah topan sehingga kita tidak
mengetahui bagaimana peristiwa
yang dialami Nabi Nuh bersama
kaumnya. Yang kita ketahui atau
yang perlu kita tegaskan bahwa Nabi
Nuh mewasiatkan kepada putra-
putranya saat ia meninggal agar
mereka hanya menyembah Allah
SWT.
demikian kisah Nabi Nuh AS
semoga bermanfaat.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates