Selasa, 08 Januari 2013

Kerajaan Malaka

1. Sejarah
a. Pendiri
Kerajaan Malaka didirikan oleh
Parameswara antara tahun
1380-1403 M. Parameswara berasal
dari Sriwijaya, dan merupakan putra
Raja Sam Agi. Saat itu, ia masih
menganut agama Hindu. Ia
melarikan diri ke Malaka karena
kerajaannya di Sumatera runtuh
akibat diserang Majapahit. Pada saat
Malaka didirikan, di situ terdapat
penduduk asli dari Suku Laut yang
hidup sebagai nelayan. Mereka
berjumlah lebih kurang tiga puluh
keluarga. Raja dan pengikutnya
adalah rombongan pendatang yang
memiliki tingkat kebudayaan yang
jauh lebih tinggi, karena itu, mereka
berhasil mempengaruhi masyarakat
asli. Kemudian, bersama penduduk
asli tersebut, rombongan pendatang
mengubah Malaka menjadi sebuah
kota yang ramai. Selain menjadikan
kota tersebut sebagai pusat
perdagangan, rombongan pendatang
juga mengajak penduduk asli
menanam tanaman yang belum
pernah mereka kenal sebelumnya,
seperti tebu, pisang, dan rempah-
rempah.
Rombongan pendatang juga telah
menemukan biji-biji timah di
daratan. Dalam perkembangannya,
kemudian terjalin hubungan
perdagangan yang ramai dengan
daratan Sumatera. Salah satu
komoditas penting yang diimpor
Malaka dari Sumatera saat itu adalah
beras. Malaka amat bergantung pada
Sumatera dalam memenuhi
kebutuhan beras ini, karena
persawahan dan perladangan tidak
dapat dikembangkan di Malaka. Hal
ini kemungkinan disebabkan teknik
bersawah yang belum mereka
pahami, atau mungkin karena
perhatian mereka lebih tercurah
pada sektor perdagangan, dengan
posisi geografis strategis yang
mereka miliki.
Berkaitan dengan asal usul nama
Malaka, bisa dirunut dari kisah
berikut. Menurut Sejarah Melayu
(Malay Annals) yang ditulis Tun Sri
Lanang pada tahun 1565,
Parameswara melarikan diri dari
Tumasik, karena diserang oleh Siam.
Dalam pelarian tersebut, ia sampai
ke Muar, tetapi ia diganggu biawak
yang tidak terkira banyaknya.
Kemudian ia pindah ke Burok dan
mencoba untuk bertahan disitu, tapi
gagal. Kemudian Parameswara
berpindah ke Sening Ujong hingga
kemudian sampai di Sungai Bertam,
sebuah tempat yang terletak di
pesisir pantai. Orang-orang Seletar
yang mendiami kawasan tersebut
kemudian meminta Parameswara
menjadi raja. Suatu ketika, ia pergi
berburu. Tak disangka, dalam
perburuan tersebut, ia melihat salah
satu anjing buruannya ditendang
oleh seekor pelanduk. Ia sangat
terkesan dengan keberanian
pelanduk tersebut. Saat itu, ia
sedang berteduh di bawah pohon
Malaka. Maka, kawasan tersebut
kemudian ia namakan Malaka.
Dalam versi lain, dikatakan bahwa
sebenarnya nama Malaka berasal
dari bahasa Arab Malqa, artinya
tempat bertemu. Disebut demikian,
karena di tempat inilah para
pedagang dari berbagai negeri
bertemu dan melakukan transaksi
niaga. Demikianlah, entah versi
mana yang benar, atau boleh jadi,
ada versi lain yang berkembang di
masyarakat.
b. Politik Negara
Dalam menjalankan dan
menyelenggarakan politik negara,
ternyata para sultan menganut
paham politik hidup berdampingan
secara damai (co-existence policy)
yang dijalankan secara efektif. Politik
hidup berdampingan secara damai
dilakukan melalui hubungan
diplomatik dan ikatan perkawinan.
Politik ini dilakukan untuk menjaga
keamanan internal dan eksternal
Malaka. Dua kerajaan besar pada
waktu itu yang harus diwaspadai
adalah Cina dan Majapahit. Maka,
Malaka kemudian menjalin hubungan
damai dengan kedua kerajaan besar
ini. Sebagai tindak lanjut dari politik
negara tersebut, Parameswara
kemudian menikah dengan salah
seorang putri Majapahit.
Sultan-sultan yang memerintah
setelah Prameswara (Muhammad
Iskandar Syah)) tetap menjalankan
politik bertetangga baik tersebut.
Sebagai bukti, Sultan Mansyur Syah
(1459—1477) yang memerintah pada
masa awal puncak kejayaan Kerajaan
Malaka juga menikahi seorang putri
Majapahit sebagai permaisurinya. Di
samping itu, hubungan baik dengan
Cina tetap dijaga dengan saling
mengirim utusan. Pada tahun 1405
seorang duta Cina Ceng Ho datang ke
Malaka untuk mempertegas kembali
persahabatan Cina dengan Malaka.
Dengan demikian, kerajaan-kerajaan
lain tidak berani menyerang Malaka.
Pada tahun 1411, Raja Malaka balas
berkunjung ke Cina beserta istri,
putra, dan menterinya. Seluruh
rombongan tersebut berjumlah 540
orang. Sesampainya di Cina, Raja
Malaka beserta rombongannya
disambut secara besar-besaran. Ini
merupakan pertanda bahwa,
hubungan antara kedua negeri
tersebut terjalin dengan baik. Saat
akan kembali ke Malaka, Raja
Muhammad Iskandar Syah mendapat
hadiah dari Kaisar Cina, antara lain
ikat pinggang bertatahkan mutu
manikam, kuda beserta sadel-
sadelnya, seratus ons emas dan
perak, 400.000 kwan uang kertas,
2600 untai uang tembaga, 300 helai
kain khasa sutra, 1000 helai sutra
tulen, dan 2 helai sutra berbunga
emas. Dari hadiah-hadiah tersebut
dapat ditarik kesimpulan bahwa,
dalam pandangan Cina, Malaka
adalah kerajaan besar dan
diperhitungkan.
Di masa Sultan Mansur Syah, juga
terjadi perkawinan antara Hang Li
Po, putri Maharaja Yung Lo dari
dinasti Ming, dengan Sultan Mansur
Shah. Dalam prosesi perkawinan ini,
Sultan Mansur Shah mengirim Tun
Perpateh Puteh dengan serombongan
pengiring ke negeri China untuk
menjemput dan membawa Hang Li
Po ke Malaka. Rombonga ini tiba di
Malaka pada tahun 1458 dengan 500
orang pengiring.
Demikianlah, Malaka terus berusaha
menjalankan politik damai dengan
kerajaan-kerajaan besar. Dalam
melaksanakan politik bertetangga
yang baik ini, peran Laksamana
Malaka Hang Tuah sangat besar.
Laksamana yang kebesaran namanya
dapat disamakan dengan Gajah Mada
atau Adityawarman ini adalah
tangan kanan Sultan Malaka, dan
sering dikirim ke luar negeri
mengemban tugas kerajaan. Ia
menguasai bahasa Keling, Siam dan
Cina.
c. Hang Tuah
Hang Tuah lahir di Sungai Duyung
Singkep. Ayahnya bernama Hang
Machmud dan ibunya bernama Dang
Merdu. Kedua orang tuanya adalah
rakyat biasa yang hidup sebagai
petani dan penangkap ikan.
Keluarga Hang Tuah kemudian
pindah ke Pulau Bintan. Di sinilah ia
dibesarkan. Dia berguru di Bukit
Lengkuas, Bintan Timur. Pada usia
yang masih muda, Hang Tuah sudah
menunjukkan kepahlawanannya di
lautan. Bersama empat orang kawan
seperguruannya, yaitu Hang Jebat,
Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang
Lekiyu, mereka berhasil
menghancurkan perahu-perahu
bajak laut di sekitar perairan dan
selat-selat di Kepulauan Riau,
sekalipun musuh mereka jauh lebih
kuat.
Karena kepahlawanan Hang Tuah dan
kawan-kawannya tersebut, maka
Sultan Kerajaan Malaka mengangkat
mereka sebagai prajurit kerajaan.
Hang Tuah sendiri kemudian
diangkat menjadi Laksamana
Panglima Angkatan Laut Kerajaan
Malaka. Sedangkan empat orang
kawannya tersebut di atas, kelak
menjadi prajurit Kerajaan Malaka
yang tangguh.
Dalam pengabdiannya demi
kebesaran Malaka, Laksamana Hang
Tuah dikenal memiliki semboyan
berikut.
1. Esa hilang dua terbilang
2. Tak Melayu hilang di bumi.
3. Tuah sakti hamba negeri.
Hingga saat ini, orang Melayu masih
mengagungkan Hang Tuah, dan
keberadaanya hampir menjadi mitos.
Namun demikian, Hang Tuah
bukanlah seorang tokoh gaib. Dia
meninggal di Malaka dan
dimakamkan di tempat asalnya,
Sungai Duyung di Singkep.
d. Malaka Sebagai Pusat Penyebaran
Agama Islam
Sebelum muncul dan tersebarnya
Islam di Semenanjung Arabia, para
pedagang Arab telah lama
mengadakan hubungan dagang di
sepanjang jalan perdagangan antara
Laut Merah dengan Negeri Cina.
Berkembangnya agama Islam
semakin memberikan dorongan pada
perkembangan perniagaan Arab,
sehingga jumlah kapal maupun
kegiatan perdagangan mereka di
kawasan timur semakin besar.
Pada abad VIII, para pedagang Arab
sudah banyak dijumpai di pelabuhan
Negeri Cina. Diceritakan, pada tahun
758 M, Kanton merupakan salah satu
tempat tinggal para pedagang Arab.
Pada abad IX, di setiap pelabuhan
yang terdapat di sepanjang rute
perdagangan ke Cina, hampir dapat
dipastikan ditemukan sekelompok
kecil pedagang Islam. Pada abad XI,
mereka juga telah tinggal di Campa
dan menikah dengan penduduk asli,
sehingga jumlah pemeluk Islam di
tempat itu semakin banyak. Namun,
rupanya mereka belum aktif
berasimilasi dengan kaum pribumi
sehingga penyiaran agama Islam
tidak mengalami kemajuan.
Sebagai salah satu bandar ramai di
kawasan timur, Malaka juga ramai
dikunjungi oleh para pedagang
Islam. Lambat laun, agama ini mulai
menyebar di Malaka. Dalam
perkembangannya, raja pertama
Malaka, yaitu Prameswara akhirnya
masuk Islam pada tahun 1414 M.
Dengan masuknya raja ke dalam
agama Islam, maka Islam kemudian
menjadi agama resmi di Kerajaan
Malaka, sehingga banyak rakyatnya
yang ikut masuk Islam.
Selanjutnya, Malaka berkembang
menjadi pusat perkembangan agama
Islam di Asia Tenggara, hingga
mencapai puncak kejayaan di masa
pemeritahan Sultan Mansyur Syah
(1459—1477). Kebesaran Malaka ini
berjalan seiring dengan
perkembangan agama Islam. Negeri-
negeri yang berada di bawah
taklukan Malaka banyak yang
memeluk agama Islam. Untuk
mempercepat proses penyebaran
Islam, maka dilakukan perkawinan
antarkeluarga.
Malaka juga banyak memiliki tentara
bayaran yang berasal dari Jawa.
Selama tinggal di Malaka, para
tentara ini akhirnya memeluk Islam.
Ketika mereka kembali ke Jawa,
secara tidak langsung, mereka telah
membantu proses penyeberan Islam
di tanah Jawa. Dari Malaka, Islam
kemudian tersebar hingga Jawa,
Kalimantan Barat, Brunei, Sulu dan
Mindanau (Filipina Selatan).
Malaka runtuh akibat serangan
Portugis pada 24 Agustus 1511, yang
dipimpin oleh Alfonso de
Albuquerque. Sejak saat itu, para
keluarga kerajaan menyingkir ke
negeri lain.
2. Silsilah
Raja/Sultan yang memerintah di
Malaka adalah sebagai berikut:
1. Permaisura yang bergelar
Muhammad Iskandar Syah (1380—
1424)
2. Sri Maharaja (1424—1444)
3. Sri Prameswara Dewa Syah (1444—
1445)
4. Sultan Muzaffar Syah (1445—1459)
5. Sultan Mansur Syah (1459—1477)
6. Sultan Alauddin Riayat Syah (1477
—1488)
7. Sultan Mahmud Syah (1488—1551)
3. Periode Pemerintahan
Setelah Parameswara masuk Islam,
ia mengubah namanya menjadi
Muhammad Iskandar Syah pada
tahun 1406, dan menjadi Sultan
Malaka I. Kemudian, ia kawin dengan
putri Sultan Zainal Abidin dari Pasai.
Posisi Malaka yang sangat strategis
menyebabkannya cepat berkembang
dan menjadi pelabuhan yang ramai.
Akhir kesultanan Malaka terjadi
ketika wilayah ini direbut oleh
Portugis yang dipimpin oleh Alfonso
d’albuquerque pada tahun 1511. Saat
itu, yang berkuasa di Malaka adalah
Sultan Mahmud Syah.
Usia Malaka ternyata cukup pendek,
hanya satu setengah abad.
Sebenarnya, pada tahun 1512, Sultan
Mahmud Syah yang dibantu Dipati
Unus menyerang Malaka, namun
gagal merebut kembali wilayah ini
dari Portugis. Sejarah Melayu tidak
berhenti sampai di sini. Sultan
Melayu segera memindahkan
pemerintahannya ke Muara,
kemudian ke Pahang, Bintan Riau,
Kampar, kemudian kembali ke Johor
dan terakhir kembali ke Bintan.
Begitulah, dari dahulu bangsa
Melayu ini tidak dapat dipisahkan.
Kolonialisme Baratlah yang memecah
belah persatuan dan kesatuan
Melayu.
4. Wilayah Kekuasaan.
Dalam masa kejayaannya, Malaka
mempunyai kontrol atas daerah-
daerah berikut:
1. Semenanjung Tanah Melayu
(Patani, Ligor, Kelantan, Trenggano,
dan sebagainya).
2. Daerah Kepulauan Riau.
3. Pesisir Timur Sumatra bagian
tengah.
4. Brunai dan Serawak.
5. Tanjungpura (Kalimantan Barat).
Sedangkan daerah yang diperoleh
dari Majapahit secara diplomasi
adalah sebagai berikut.
1. Indragiri.
2. Palembang.
3. Pulau Jemaja, Tambelan, Siantan,
dan Bunguran.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates