“Ya, saya tawarkan diary ini dengan harga awal dua puluh ribu rupiah!” teriaknya lantang.
Keempat cewek ini kompak banget. Dina, Rina, Tina, dan Mirna ke mana-mana selalu berempat.
Kalo ke kantin pasti ketemu dengan empat cewek ini, ke perpustakaan
juga begitu, ke lapangan basket juga, bahkan sampai ke kamar kecil
sekali pun pasti ada empat makhluk-makhluk manis ini. Aku sih
geleng-geleng kepala aja setiap kali bertemu mereka.
Mereka kerap aku undang ke acara OSIS, dan enaknya, kalau yang satu
mau, yang lainnya pasti ikutan. Jadi lumayan, ngundang satu dapat
empat. He he he, kayak sale aja.
Tapi belakangan, aku melihat ada perubahan pada keempat cewek kompak
itu. Mereka memang masih ke mana-mana berempat, tapi di raut wajah
mereka ada yang berubah, tak lagi tersenyum bersama, melainkan seperti
menyimpan misteri sendiri-sendiri. Ada apa ya?
Rupanya, setelah aku dapat info dari salah seorang dari mereka,
diam-diam empat cewek ini lagi naksir seorang cowok. Salah satu dari
mereka yaitu Dina, bercerita kepadaku.
Katanya, yang awalnya naksir, Mirna, tapi karena sudah kebiasaan, yang
lainnya ikut memperhatikan sang cowok dan ujung-ujungnya
empat-empatnya jadi ikutan naksir. Tentu aja, yang begini nggak bisa
dilakukan secara bersamaan. Masalah cinta nggak kenal istilah kompak-kompakan. Karena jatuh cinta adalah masalah hati, dan yang namanya hati punya rahasia sendiri-sendiri. Iya kan?
Dan jujur aja, untuk yang kayak begini aku nggak bisa ngasih solusi
apa-apa, wong aku sendiri nggak pernah naksir orang, kok. Apalagi sampe
jatuh cinta. Paling
aku bilang pada Dina, sebaiknya konsentrasikan diri pada pelajaran,
nanti masalah itu bisa terlupakan dengan sendirinya. Tapi Dina bilang,
justru ia nggak bisa belajar dengan konsentrasi kalau nggak ingat sama
cowok itu. Duile segitunya!
Tapi besoknya aku dengar dari Dina lagi kalo keempat cewek itu sudah membuat kebulatan tekad.
“Hmm, gini deh, kalo kita mau memepertahankan kebersamaan kita, di
antara kita tidak ada yang boleh naksir sama cowok itu lagi!” cerita
Dina padaku.
“Setuju!” teriak tiga lainya, masih menurut cerita Dina.
Hmm, menurutku hebat. Mereka lebih memilih kebersamaan daripada harus pecah gara-gara seorang cowok ganteng.
Tapi apa iya mereka bisa kompak begitu? Rasanya kalau untuk
naksir-naksiran, siapa pun nggak ada yang bisa dipercaya. Buktiin, deh.
Soalnya sekarang si Dina, mendatangiku lagi dan bilang bahwa dia
betul-betul tidak bisa melupakan bayangan si cowok itu.
“Dia ulang tahun, boleh nggak saya ngasih kado?” ujarnya memohon pendapatku.
“Ya, kalo cuma mau ngasih kado sih boleh-boleh aja. Kenapa tidak?” Ucapku.
“Hmm, jadi nggak apa-apa?”
“Emangnya kenapa?” pancingku
“Ya, kita kan udah janjian nggak mau naksir cowok itu lagi?”
“Memberi kado kan bukan menunjukkan bahwa kita naksir?”
“Tapi,” kata Dina dalam hatinya (kok aku bisa tau suara hatinya? He he
he) “Aku ngasih kado ini karena sebetulnya masih naksir dia, dan sulit
sekali melupakannya. Eh kamu janji ya, jangan bilang-bilang ke ketiga
temanku itu kalo aku ngasih kado ke cowok itu.” sergah Dina lagi.
“Apa pernah aku cerita-cerita?” kayaknya dia nggak percaya sama reputasiku.
“Enggak, sih?”
***
Besoknya keempat cewek itu sudah mulai akrab lagi. Tapi pada hari yang
sama, tepatnya di sore harinya, cowok yang mereka taksir itu datang
kepadaku. Katanya dia mau melelang barang-barang yang merupakan
kado-kado dari hasil pemberian beberapa orang. Hasil lelangnya itu akan
disumbangkan ke kegiatan OSIS sekolah. Wah, boleh juga, tuh.
“Barangnya apa aja?” tanyaku.
Kemudian aku bersama teman-teman pengurus OSIS, diajak ke sebuah mobil
yang terparkir di luar pagar sekolah. Ketika bagasinya dibuka, aku
lihat banyak sekali barang yang ia tawarkan tapi masih berupa bungkusan
kado.
“Yang mana yang mau dilelang?” tanyaku sedikit terheran.
“Semuanya….” jawab si si cowok kiyut itu.
Karena semua masih dibungkus dalam kertas kado, kita tidak tahu
jangan-jangan ada hadiah yang sangat mahal harganya? Atau jangan-jangan
ada yang isinya bom? He he he
“Nggak diperiksa dulu, atau dipilih-pilih yang mana yang kira-kira bisa
dilelang dan yang mana yang bisa digunakan untuk pribadi?”
Si cowok cakep ini menekankan, “semuanya, dan tidak perlu diperiksa.”
Wah, wah, hebat juga nih cowok. Dalam hatiku, enak sekali jadi cowok
ganteng ya, tiap ultah banyak yang ngasih kado. Padahal setahuku si
cowok ini nggak bikin pesta, kado terus aja mengalir.
Aku tentu saja beterima kasih padanya. Si cowok ini lumayan sosial. Dia
nggak gitu aktif di OSIS, tapi setahuku dia lumayan sering hadir di
acara-acara OSIS. Diam-diam aku sempat memperhatikan sosoknya, dan
menurutku sih wajar aja banyak orang (terutama cewek-cewek di sekolah
ini) yang berusaha menarik perhatiannya dengan memberikan kado pada
HUT-nya itu. Selain orangnya cakep, mudah bergaul, murah senyum, nggak
sombong, dan ya itu tadi, punya jiwa sosial yang tinggi.
“Aku sudah bilang kepada mereka, bahwa kado-kado ini bebas aku apain
aja, dan sekarang aku mau lelang,” ujar si cowok sebelum meninggalkan
ruang OSIS. “Kalo dilelang, kita bisa dapat harga lebih tinggi, selain
itu uang yang masuk bisa lebih mudah dimanfaatkan daripada kado-kado
yang masih berupa barang.
Misalnya ada yang ngasih kado jam tangan, nah buat apa jam tangan itu,
mau ditaroh di dinding ruang OSIS?” Katanya sambil nyengir.
Aku manggut-manggut. Betul juga. Soalnya aku nggak gitu tahu isi
kado-kado itu, sih. Makanya tadi kan aku ngasih saran supaya diperiksa
dulu isinya. Ternyata dia berniat untuk melelang semuanya.
Akhirnya aku bersama pengurus OSIS sepakat bikin acara lelang. Semua
anak sekolah diperbolehkan datang. Sehari sebelum lelang aku bikin
pengumuman.
“Eh, lelang barang kado ultah? Apa maksudnya?” tanya Dina kaget.
Aku menceritakan kejadiannya, dan tentu saja Dina makin kaget. “Tapi…
nama pengirim kadonya disebutin nggak?” ujarnya sedikit ketakutan.
“Ya, enggak tau juga, ya, soalnya dia sendiri yang mau ngelelang barang-barang itu…” ujarku.
Dina manggut-manggut.
Pada kenyataanya, si cowok menyebutkan semua barang-barang yang
dilelang berikut nama si pemberi barang, karena dia hapal betul
nama-nama si pemberi hadiah itu. Misalnya saja ketika ia mengangkat
sebuah diary mungil, dia langsung bilang terima kasih pada Anti, yang
sudah memberikan buku itu, tapi bukannya bermaksud merendahkan
pemberian itu, tapi justru dengan melelangnya, diary ini jadi lebih
berarti, “Ya, saya tawarkan diary ini dengan harga awal dua puluh ribu
rupiah!” teriaknya lantang.
Maka serentaklah orang-orang (kebanyakan cewek-cewek) mengangkat
tangan, yang memberi harga variatif, mulai dua puluh lima ribu, lalu
tiga puluh ribu, lalu lima puluh ribu, sampai ada seseorang yang berani
membelinya dengan harga, “Seratus ribu!”
“Ada lagi?” pancing si cowok.
Tidak ada lagi yang menunjuk tangan kecuali Anti. Lalu Anti maju ke
depan dan menyerahkan uang seratus ribu pada si cowok, dan mengambil
diary mungil itu. Dia mendekati si cowok dan meminta tanda tangan pada
diary tersebut. Lalu memeluk diary itu dengan hangat.
Aneh, aku betul-betul geleng-geleng kepala. Bukunya sendiri yang
dijadikan kado lalu dibelinya lagi dengan harga tinggi. Hi hi hi.
“Selanjutnya ada jam tangan, ini pemberian dari persahabatan saya Dina… saya lelang dengan memulai penawaran… dua ratus ribu…”
Kejadian selanjutnya mirip dengan yang pertama tadi, meskipun banyak
orang yang berebut angkat tangan dengan aneka penawaran harga, tapi
ujung-ujungnya justru si pemilik barang itulah yang memberi penawaran
harga tertinggi. Sudah bisa dipastikan Dina mengambil jam tangan itu
dengan perasaan senang.
Setelah itu si cowok menyebutkan barang pemberian Rina, Tina, Mirna dan
yang lainnya. Ya, semua barang akhirnya terjual lebih mahal dari
harga aslinya. Perkiraan si cowok tepat, uang lebih banyak terkumpul
dan lebih mudah digunakan untuk pengembangan kegiatan OSIS serta
berbagai macam kegiatan lainnya.
“Terima kasih ya, “ ucapku pada si cowok itu. Si cowok tersenyum setelah meyerahkan sejumlah uang.
Sementara kulihat keempat cewek kompak itu di pojokan sedang menimang barang-barangnya masing-masing.
“Kamu ternyata ngasih kado ya ke cowok itu?” ujar Mirna ke Dina.
“Kamu juga,” sergah Dina.
“Ssst, sudahlah, kamu juga ikutan ngasih kado, kan?” ujar Tina.
“Iya, berarti kita udah nggak kompak lagi. Diam-diam kita masih
memperhatikan dia, memberikan kado, untung kadonya dilelang, jadinya
ketahuan, coba kalo nggak dilelang, pasti diam-diam kita masih naksir
terus ke dia,” beber Rina.
“Jadi gimana, dong?” tanya Dina
“Kita udah nggak jujur lagi. Percuma aja kompak-kompakan selama ini,” imbuh Rina.
Selanjutnya mereka berempat meninggalkan pojokan itu dengan
langkah-langkah gontai. Hmm, apa yang akan terjadi dengan mereka?
Apakah mereka akan bubaran setelah kejadian ini? Bercerai-berai untuk
meneruskan persaingan mendapatkan perhatian si cowok cakep itu? Hmm,
entahlah, yang jelas keempat cewek kompak itu terus saja melangkah.
***
Keesokan harinya, aku melihat keempat cewek itu tampil bersama dan
nampak lebih heboh, mereka bergaya bak model-model majalah yang mau
fashion show, bahkan sebelum sampai ke sekolah, keempat kembar siam
itu, katanya mampir ke salon dulu untuk touch up! Wah, wah…
Di kantin, ketika hendak jajan, aku sempat berpapasan dengan Dina, dia
bilang katanya genk-nya mau bersaing secara sehat dan alamiah,
“pokoknya setiap hari tampil kinclong, ‘ntar siapa yang dipilih ama si
cowok cakep, itulah yang beruntung,” terangnya. “Yyyuuukkk …!“
Aku cuma bisa melongo.
0 komentar:
Posting Komentar